DAK KATEK DUIT
Oleh Qanita Asyd
Oleh Qanita Asyd
Muara
Jangga, 16. 15 WIB
Sepotong
roti keras di dalam genggaman itu telah habis. Seorang lelaki tua telah
memotongnya, menyantapnya dengan rakus tanpa sisa. Bahkan, Serbuk-serbuk roti
yang jatuh pun ingin sekali ia santap. Tapi tak mungkin. Ia hanya lelaki tua
tanpa kelihaian gerakan. Ia, lelaki tua dengan keringat yang telah melebur
bersama hujan sore itu. baju putihnya tampak lusuh dan telah berubah warna
menjadi kecokelatan. Ia, lelaki tua dengan gerobak kecil di genggamannya. Gerobak
yang telah ia dorong sejak satu hari yang lalu. Gerobak yang tak akan sudi ia
lepaskan walau nyawa taruhannya.
“Dikit lagi
lah sampai kito, lup.” Kata lelaki tua itu girang. Ia kini tengah duduk di
depan sebuah warung kosong. Hujan telah berhasil membuatnya menyerah untuk
terus melangkah. Ia mengalah. Lagipula sebentar lagi ia akan tiba di suatu
tempat harapan yang ia tuju sejak kemarin. Matanya menerawang jauh ke depan.
“Kali ini nian
lah nak..”
Kulup,
seorang bocah kecil yang sedari tadi ia ajak bicara tak menjawab. Lelaki tua
itu kini menatap putra semata wayangnya lekat. Wajahnya tampak polos bila
sedang tidur. Anak lincah yang telah menjadi penyejuk hatinya sejak tujuh tahun
belakangan ini.
Perlahan,
lelaki tua itu membetulkan selimut Kulup. Memperbaiki kain yang tersingkap di
terpa angin. Ia takut kalau-kalau Kulup terkena tetesan hujan. Ditariknya
gerobak itu lebih dekat ke arahnya agar ia bisa melihat wajah Kulup. Ya. Kulup
kini tidur di dalam gerobak yang ia dorong sejak kemarin.
Kedua
anak beranak itu telah menghabiskan perjalanan bersama demi sebuah tempat yang
paling diharapkan. Berkali-kali lelaki tua itu menerangkan pada Kulup bahwa
mereka akan sampai. Kulup akan segera mendapatkan apa yang harus ia dapatkan.
Hingga pada akhirnya Kulup tak mau bertanya lagi. Ia mungkin lelah.
“Dikit lagi Lup..” kata lelaki tua itu
lagi. Samar.
Lelaki
kurus itu kini kembali menatap hujan. Senyum mengembang di wajahnya. Mamak di
rumah pasti senang. Kulup sebentar lagi sembuh.
***
Jambi,
17.05 WIB
Tak
pernah ia mengira bahwa sore itu menjadi sore terkelam baginya. Labiri-labirin
otaknya membawanya kembali ke masa dua hari yang lalu ketika di belakangnya
sesosok wanita tengah terisak seraya melambaikan tangan melepas kepergiannya.
Ia tak berani menoleh. Ia cukup tegar untuk berpisah dengan istrinya beberapa
hari saja. Namun, ia tak cukup tegar untuk berkata jujur bahwa ia tidak akan ke
kota dengan naik angkutan umun seperti yang ia bilang di malam harinya. Ia dan
Kulup akan pergi ke kota dengan gerobak. Di ujung gang sana telah menunggu
gerobak yang biasa ia pakai untuk bekerja.
Kulup
sakit panas. Hanya itu yang ia tahu. Biasanya Kulup akan segera sembuh dengan
sendirinya. Namun, entah mengapa kali ini berbeda. Kulup tak kunjung sembuh.
Sempat ia menerka bahwa Kulup kesambet
setan seperti yang orang-orang di kampungnya yakini. Tapi itu tidak benar. Ini
bukan kesambet. Dan cukuplah
penolakan pemberian pertolongan kala itu yang membuat lelaki itu mengelus dada.
Ia kini paham betapa sakitnya hidup di negeri dengan pemberian mahkota pada
uang. Atau ia mulai menyadari bahwa ia harus memiliki uang?
“Idak ado cerito! dak katek duit dak galak!”
hardik seorang pria ketika lelaki tua itu mencoba meminta izin untuk berhutang pagi
itu. Tangan pria itu meremas-remas obat yang baru saja ia bungkus. Ia tak
menyangka bahwa lelaki di depannya akan ngutang.
“Kau kiro ini warung kopi, heh?”
katanya lagi seraya melotot.
“Sikok ni lah Wak.. kasian anak awak..” bujuk
lelaki tua itu. Tubuhnya bergetar.
“Idak, idak. Kau cari dewek apotek lain
yang mau ngasih utang. Di sini dak terimo utang.”
Pria
itu menghabiskan perkara. Ia melayani pembeli lain tanpa menghiraukan lelaki
tua yang perlahan mundur. Ia toh masih punya harga diri. Masih ada jalan lain.
Kulup harus sembuh dan keputusan nekatnya pergi ke kota dengan bermodalkan
kartu miskin membuatnya masih tegar hingga saat ini. Berharap semoga saja Rumah
sakit di kota akan menerima kartu itu. Ya. semoga saja.
“Lup,
kito sampe..” desis lelaki tua itu
lemah.
Beberapa
menit lalu ia telah berhasil menginjakkan kaki di tempat harapan itu. Rumah
sakit. ia telah berhasil meyakinkan petugas bahwa ia sangat membutuhkan
pertolongan saat ini. lelaki tua ini pantas untuk tersenyum demi membayar
perjuangannya dua hari ini. Ya. Sudah dua hari ia telah mendorong gerobak
hingga ia tiba di tempat harapannya bertumpu. Seorang dokter. Hanya sosok
bejubah putih itu yang kini ia harapkan.
“Maaf..
Ini putra bapak?” Tanya seorang pria bejubah putih. Dokter itu baru saja
selesai memeriksa Kulup.
“Benar.”
“Begini
pak..” Dokter menarik lengan lelaki tua itu. ia mencoba meraba hati sang Bapak
yang tengah di rundung harapan. Hati-hati sekali ia mencoba menerangkan tentang
keadaan anaknya.
Sejenak
setelah Dokter melayangkan sebuah kalimat yang menembus hinnga ke sanubarinya,
Lelaki tua itu merosot. Matanya menerawang. Sungguh ini adalah sore terkelam
dalam hidupnya. Kulup pergi. Sejak sehari yang lalu Kulup sudah pergi. Saat itu
Kulup bukan tidur seperti yang lelaki tua itu sangka selama ini. ia tidak
tidur.
Ia
pergi.
“Bangun..
Bangun Lup..” desis lelaki tua itu. Di depannya seorang bocah penyejuk hatinya
telah pucat. Seorang bocah yang karena dia, lelaki tua itu melawan
keterbatasan. Karena dia, lelaki tua itu tetap melangkah walau terkadang tubuh
ringkihnya tak bisa lagi di harapkan. Semuanya karena dia.
Dokter
bilang Kulup terlambat di bawa. Ia terserang demam berdarah. Tapi, lelaki tua
itu tak peduli. Ia masih terus mendekap tubuh Kulup. Sesekali ia
memgguncang-guncang. Matanya menerawang. Pikirannya berlarian kesana-kemari.
Terkadang bertaut pada Kulup, terkadang singgah di wajah sendu Istrinya yang
menanti kepulangan mereka, dan terkadang ia mengingat wajah-wajah orang yang
menolaknya menolong karena tak memiliki uang. Ia kira ia tak akan sanggup
berdiri lebih lama lagi. Ia makin lemas.
Semua
gelap.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar