Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Sabtu, 24 November 2012

Dak Katek Duit


DAK KATEK DUIT
Oleh Qanita Asyd

Muara Jangga, 16. 15 WIB
Sepotong roti keras di dalam genggaman itu telah habis. Seorang lelaki tua telah memotongnya, menyantapnya dengan rakus tanpa sisa. Bahkan, Serbuk-serbuk roti yang jatuh pun ingin sekali ia santap. Tapi tak mungkin. Ia hanya lelaki tua tanpa kelihaian gerakan. Ia, lelaki tua dengan keringat yang telah melebur bersama hujan sore itu. baju putihnya tampak lusuh dan telah berubah warna menjadi kecokelatan. Ia, lelaki tua dengan gerobak kecil di genggamannya. Gerobak yang telah ia dorong sejak satu hari yang lalu. Gerobak yang tak akan sudi ia lepaskan walau nyawa taruhannya.
“Dikit lagi lah sampai kito, lup.” Kata lelaki tua itu girang. Ia kini tengah duduk di depan sebuah warung kosong. Hujan telah berhasil membuatnya menyerah untuk terus melangkah. Ia mengalah. Lagipula sebentar lagi ia akan tiba di suatu tempat harapan yang ia tuju sejak kemarin. Matanya menerawang jauh ke depan.
 “Kali ini nian lah nak..”
Kulup, seorang bocah kecil yang sedari tadi ia ajak bicara tak menjawab. Lelaki tua itu kini menatap putra semata wayangnya lekat. Wajahnya tampak polos bila sedang tidur. Anak lincah yang telah menjadi penyejuk hatinya sejak tujuh tahun belakangan ini.
Perlahan, lelaki tua itu membetulkan selimut Kulup. Memperbaiki kain yang tersingkap di terpa angin. Ia takut kalau-kalau Kulup terkena tetesan hujan. Ditariknya gerobak itu lebih dekat ke arahnya agar ia bisa melihat wajah Kulup. Ya. Kulup kini tidur di dalam gerobak yang ia dorong sejak kemarin.
Kedua anak beranak itu telah menghabiskan perjalanan bersama demi sebuah tempat yang paling diharapkan. Berkali-kali lelaki tua itu menerangkan pada Kulup bahwa mereka akan sampai. Kulup akan segera mendapatkan apa yang harus ia dapatkan. Hingga pada akhirnya Kulup tak mau bertanya lagi. Ia mungkin lelah.
Dikit lagi Lup..” kata lelaki tua itu lagi. Samar.
Lelaki kurus itu kini kembali menatap hujan. Senyum mengembang di wajahnya. Mamak di rumah pasti senang. Kulup sebentar lagi sembuh.
***

Jambi, 17.05 WIB
Tak pernah ia mengira bahwa sore itu menjadi sore terkelam baginya. Labiri-labirin otaknya membawanya kembali ke masa dua hari yang lalu ketika di belakangnya sesosok wanita tengah terisak seraya melambaikan tangan melepas kepergiannya. Ia tak berani menoleh. Ia cukup tegar untuk berpisah dengan istrinya beberapa hari saja. Namun, ia tak cukup tegar untuk berkata jujur bahwa ia tidak akan ke kota dengan naik angkutan umun seperti yang ia bilang di malam harinya. Ia dan Kulup akan pergi ke kota dengan gerobak. Di ujung gang sana telah menunggu gerobak yang biasa ia pakai untuk bekerja.
Kulup sakit panas. Hanya itu yang ia tahu. Biasanya Kulup akan segera sembuh dengan sendirinya. Namun, entah mengapa kali ini berbeda. Kulup tak kunjung sembuh. Sempat ia menerka bahwa Kulup kesambet setan seperti yang orang-orang di kampungnya yakini. Tapi itu tidak benar. Ini bukan kesambet. Dan cukuplah penolakan pemberian pertolongan kala itu yang membuat lelaki itu mengelus dada. Ia kini paham betapa sakitnya hidup di negeri dengan pemberian mahkota pada uang. Atau ia mulai menyadari bahwa ia harus memiliki uang?
Idak ado cerito! dak katek duit dak galak!” hardik seorang pria ketika lelaki tua itu mencoba meminta izin untuk berhutang pagi itu. Tangan pria itu meremas-remas obat yang baru saja ia bungkus. Ia tak menyangka bahwa lelaki di depannya akan ngutang. “Kau kiro ini warung kopi, heh?” katanya lagi seraya melotot.
Sikok ni lah Wak.. kasian anak awak..” bujuk lelaki tua itu. Tubuhnya bergetar.
Idak, idak. Kau cari dewek apotek lain yang mau ngasih utang. Di sini dak terimo utang.”
Pria itu menghabiskan perkara. Ia melayani pembeli lain tanpa menghiraukan lelaki tua yang perlahan mundur. Ia toh masih punya harga diri. Masih ada jalan lain. Kulup harus sembuh dan keputusan nekatnya pergi ke kota dengan bermodalkan kartu miskin membuatnya masih tegar hingga saat ini. Berharap semoga saja Rumah sakit di kota akan menerima kartu itu. Ya. semoga saja.
“Lup, kito sampe..” desis lelaki tua itu lemah.
Beberapa menit lalu ia telah berhasil menginjakkan kaki di tempat harapan itu. Rumah sakit. ia telah berhasil meyakinkan petugas bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan saat ini. lelaki tua ini pantas untuk tersenyum demi membayar perjuangannya dua hari ini. Ya. Sudah dua hari ia telah mendorong gerobak hingga ia tiba di tempat harapannya bertumpu. Seorang dokter. Hanya sosok bejubah putih itu yang kini ia harapkan.
“Maaf.. Ini putra bapak?” Tanya seorang pria bejubah putih. Dokter itu baru saja selesai memeriksa Kulup.
“Benar.”
“Begini pak..” Dokter menarik lengan lelaki tua itu. ia mencoba meraba hati sang Bapak yang tengah di rundung harapan. Hati-hati sekali ia mencoba menerangkan tentang keadaan anaknya.
Sejenak setelah Dokter melayangkan sebuah kalimat yang menembus hinnga ke sanubarinya, Lelaki tua itu merosot. Matanya menerawang. Sungguh ini adalah sore terkelam dalam hidupnya. Kulup pergi. Sejak sehari yang lalu Kulup sudah pergi. Saat itu Kulup bukan tidur seperti yang lelaki tua itu sangka selama ini. ia tidak tidur.
Ia pergi.
“Bangun.. Bangun Lup..” desis lelaki tua itu. Di depannya seorang bocah penyejuk hatinya telah pucat. Seorang bocah yang karena dia, lelaki tua itu melawan keterbatasan. Karena dia, lelaki tua itu tetap melangkah walau terkadang tubuh ringkihnya tak bisa lagi di harapkan. Semuanya karena dia.
Dokter bilang Kulup terlambat di bawa. Ia terserang demam berdarah. Tapi, lelaki tua itu tak peduli. Ia masih terus mendekap tubuh Kulup. Sesekali ia memgguncang-guncang. Matanya menerawang. Pikirannya berlarian kesana-kemari. Terkadang bertaut pada Kulup, terkadang singgah di wajah sendu Istrinya yang menanti kepulangan mereka, dan terkadang ia mengingat wajah-wajah orang yang menolaknya menolong karena tak memiliki uang. Ia kira ia tak akan sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia makin lemas.
Semua gelap.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar