Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Jumat, 13 September 2019

LESTARIKAN HUTAN, LESTARILAH GENERASI


LESTARIKAN HUTAN, LESTARLAH GENERASI
Oleh Ika Y. Suryadi




 "Seperti berada di dalam mobil yang tertutup rapat, pengap, dan tak ada jalan keluar-masuk udara. Begitulah kondisi kita di bumi pada hari ini. Gas emisi, polutan, dan panas matahari masuk ke bumi—yang seharusnya kembali ke atas—justru berhenti dan kembali memantul ke bumi. Dan, jadilah efek rumah kaca. Kita berada di dalamnya.” (Diadaptasi dari ungkapan yang disampaikan Dr. Amanda Katili Niode, ManagerThe Climate Reality Indonesia)

PADA tahun 90-an, tak jauh dari rumah saya ada semacam parit besar yang memisahkan rawa, kolam-kolam tadah hujan milik warga, dan juga perkampungan. Parit itu seperti sungai kecil yang bukan main jernih airnya. Di dalamnya banyak ikan gabus, wader, dan kapi-kapi berenang. Saya dan teman-teman sepantaran saya kerap bermain di sana. Kami menangkap ikan, main perosotan air dari pelepah pinang, dan jebur-jeburan. Pun ketika musim kemarau tiba (bahkan ketika bencana kabut asap 1997 melanda) parit itu masih mampu mengalirkan air dari mata air. Burung-burung menumpang mandi, biawak, tupai dan monyet masih berkeliaran. Dan setidaknya, menyejukkan pandangan di antara penjara kabut asap bahwa parit itu tak pernah kehabisan air. Hanya sedikit surut sebagai tanda bahwa dia toh hanya parit.

Akan tetapi, hari ini sudah berbeda. Saat musim hujan, parit itu hanya sekadar jalan air yang deras dan keruh. Sementara ketika kemarau, parit itu lebih mirip galian lubang yang panjang tanpa setetes air. Seolah menunjukkan mata air sudah terlampau jauh di dalam tanah. Bahkan detik ini, ketika kabut asap akibat karhutla kembali datang, nasib parit itu tidak sempat lagi ditangisi lantaran warga sibuk sesak napas dan mencari sumber air ke sana-sini. Jangankan parit, sumur-sumur galian sudah tandas, kisanak. Kalau pun ada, tentu sudah campur baur dengan rembesan air dari septi tank. Masyarakat sekitar yang dulu terberkahi dengan melimpahnya air, kini punya kebiasaan baru membeli air dan ditampung di tangki (PAM belum masuk ke daerah kami). Pada saat itulah, di momen-momen paling berat, di antara rumput cokelat tanpa embun, di bawah matahari merah menyala, dan dalam kurungan kabut asap, saya kerap berbisik lirih;  Bumi kita tak pernah sama lagi seperti sebelumnya.