Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Senin, 03 Maret 2014

Dia Tanpa Aku

Bersabarlah Sehari Lagi 
 Ku pandang wajah Zaki. Ia sebaik-baiknya saudara. Bersayap putih. Mengingatkanku pada kebaikan. Mengingatkanku pada wajah ilahi. Tapi dahulu –sejak bendera penghubung antara aku dan dia tersobek – atau kurasa hingga saat ini ia masih sebaik-baiknya saudara.
 Sudah ku bilang, “aku tak punya alasan” ketika Zaki mendarat padaku dengan sayap patahnya, perihal mengapa aku menghilang. Katanya, aku tak sama lagi. Ku bilang, ia mengigau.
“Apa kau punya masalah, Zul?”
Aku diam. Melewati Zaki begitu saja. Tapi derap langkahnya semakin lebar. Air matanya mengalir. Memohon padaku untuk kembali.
“Kembali kemana?” aku berkernyit. Zaki telah di depan mata.
“Ayo, pulang..” Zaki menjulurkan tangannya, kemudian menawarkan bahunya. “Demi Allah, kita harus terus bersama di jamaah ini.”
“Tidak..” Aku melengos. Aku mulai berjalan lagi. Di depanku nyanyian-nyanyian merdu terdengar syahdu. Perak dan emas punya cerita di sana. Lambaian-lambaian makhluk indah begitu menawan.
“Zul..! wallahi.. di jalan ini kita bisa selamat!”
Aku terhenti sebentar. Sejenak menoleh ke jalan dimana Saki berasal. Menoleh lagi ke arah Zaki. Sayapnya patah, wajahnya pias dengan luka lebam di raganya. Ada banyak duri di sana..
Ku bilang, “Zaki, apa yang menahanmu di sana? Ikut saja aku.”
 “Kenapa aku harus pergi dari sana kalau Allah saja ada di sana?” Zaki bergetar.
“Kau terluka parah!” Aku tak sabar. “Lihat sayapmu! Hancur!”
Zaki terhenyak. Serta merta ia berteriak, “Zul..! di dunia ini yang punya sayap hancur banyak. Tapi mereka tak beriman. Mereka bersabar tapi kesabaran mereka percuma karena mereka tak beriman! Zul...! aku beruntung! Sayapku patah tapi aku beriman! aku beruntung! Orang-orang di hancurkan sayapnya karena mencuri, sayapku hancur karena berdakwah! Mereka di hina karena kedurjanaan mereka. Aku dihina karena ada bendera Allah di tanganku!
Zul..! Mereka tidak tidur semalaman karena menari-nari bersama biduan atau tertawa lebar dengan perbuatan mubah bahkan haram! sedang kau tidak tidur karena harus memenangkan dakwah! Zul..! Mereka di penjara karena korupsi! Kau di penjara karena berdakwah! Seseorang dikucilkan karena berbuat keburukan, dan kau dikucilkan karena berbuat kebaikan! Kau beruntung, Zul..! jangan kau hancurkan semuanya hanya dengan satu langkah ke jalan itu..!”
Ku tatap mata Zaki. Tak ada keraguan di sana. Mataku panas. Tapi aku tidak tahan lagi! Sayapku telah hancur sehancur-hancurnya!
“Zul.. ayo pulang. Lewat sini! Bukan lewat sana..” Zaki menarikku dengan ringkih. “Zul.. bersabarlah sehari lagi!”
“Kau selalu bilang hal itu! Bersabar sehari lagi, bersabar sehari lagi, tapi aku sudah lelah!”
“Zul.. ini benar. Demi Allah. Sebentar lagi kita pulang...” Zaki semakin lemah. Luka di sekujur tubuhnya telah membuat ia kehilangan banyak darah. Tapi ia tak pernah menyerah. “Zul.. ingatlah janji kita dahulu, dengan syahadat kita bersumpah! Allah saksinya, Zul!” teriaknya lagi. Serak.
Aku ingat itu, samar-samar. Ketika bumi bergemuruh karena syahadat kami. Ketika dahulu kami saling bersumpah menjaga nama baik pergerakan dakwah ini. Ketika lisan berucap tak akan lari ke belakang. Ketika Buya Ali memegang ikrar kami seraya membaca Ayat suci...

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah menegtahui apa yang kamu perbuat” (An-Nahl: 91)

            “Dengar.. mereka mengkadermu, bukan untuk melakukan hal ini, Zul. Bukan untuk banyak tertawa. Bukan untuk sebuah penghormatan manusia. Bukan, Zul. Tapi untuk hal yang lebih besar..!”
            “Aaaarkhhh!!!!!” Ku hempas tangan Zaki hingga ia jatuh terperosok. Aku semakin terpojok saja! Aku bingung! “Baru sekarang kau datang, Zaki? Musibah itu datang, kau ke mana..? Aku sendirian, kau di mana..? sekarang Aku sudah berpenyakit, Zaki....!!! Aku tidak pantas lagi bersama kalian...!! KEMARIN KALIAN DIMANA...!!!”
            “Bicara apa kau, Zul...!” Saki melotot.
Sial! Aku hilang kendali. Untuk sesaat, aku lihat Zaki begitu marah lalu menunduk penuh sesal.
“Maafkan aku Zul..Aku pun punya sakit sendiri.. tapi kau harus percaya. Dugaanmu salah.. Tak sesempit itu ukhuwah kita...! tak sesempit itu pandangan Allah tentangmu! Kenapa kau menyempitkan yang luas...?”
 “Kapan kita pulang...!” aku alihkan pembicaraan.
            “Demi Allah, sebentar lagi, Zul... ayo.. lewat sini..jangan lewat sana..” Zaki berdesis. Sayap putihnya semakin lemah dan hancur saja. Tiga tombak musuh telah bersarang di tubuh Zaki. Ia kehabisan darah. Jemarinya tak mampu lagi menggenggamku. Tak ada lagi teriakan Zaki. Hanya nyanyia-nyanyian syahdu di jalan sana. Hanya itu yang terdengar. Sejenak ku tatap Zaki, seonggok daging masih dengan nyawa, terengah-engah. Sesaat terlintas keinginan untuk meletakkan saja kepala Zaki di pangkuanku. Menurutinya untuk tak beranjak pergi. Tapi, kondisiku pun tak lebih baik dari Zaki! Sama parahnya!
            Perlahan, ku lanjutkan langkah ini. Nyanyian syahdu itu semakin jelas terdengar. Tak seperti jalan Zaki. Terasing.
            “Zul..”
            Aku terkesiap. Lalu menoleh ke belakang. Zaki!
            Zaki mengacungkan jarinya padaku. Air matanya meleleh. Bibirnya yang pecah mencoba bersuara, “Zul.. Semua penyakit itu bersumber dari pudarnya cita-cita...”
            Hening.
            Syahadat terdengar samar. Malaikat maut menyambut Zaki.
Tinggal Aku sendirian di sini. Hanya berlutut menggoncang-goncang tubuh Zaki. Cita-cita? Ya. Kami dulu meneriaki dunia perihal impian kami. Islam akan kembali berjaya. Buya Ali pernah bilang, sekalipun aku seorang diri di jalan dakwah ini, terluka, hingga tak sanggup berdiri, dan aku pikir sebaiknya aku pergi saja, tapi cita-cita yang besar akan menahanku. Jiwa yang besar akan membawa hati yang luka dan raga yang lelah untuk menuruti kemauannya. Tak peduli sesulit apapun. Sesepi apapun. Cita-cita ini harus terwujud!
Ku kecup dahi Zaki. Sedangkan nyanyian syahdu, ketenangan memikat dan lambaian makhluk menawan di sana, masih terus menggoda.. []


Dia tanpa Aku
: seperti kereta dan kursi,
 Ditinggal penumpang kini,
Penumpang baru tiba,
Kursi kosong terisi lagi



~ Sesudah itu wahai orang-orang yang menyeru manusia kepada Islam. Sesungguhnya orang yang bersungguh-sugguh pasti meraih keberhasilan, dan tidaklah sama antara orang yang melek dan orang yang tidur. Maka janganlah engkau menjadi seperti orang-orang yang bergabung di dalam ketentaraan, sedangkan hatinya lalai dari tugas-tugasnya. Kematian ini tidak jauh darimu sama dengan jarak sejengkal. Malam-malam hari ini merayap mengurangi saat-saat usiamu.
Dan bahwa ketinggian itu mahal harganya, dan tiada lain bayarannya hanya dengan mengikuti madrasah kufah dan syam serta madrasah Imam kota Bashrah al-Hasan. Perhatikanlah keadaan dirimu. Dan gunakanlah waktumu sebaik-baiknya. Karena sesungguhnya persinggahan ini sebentar, keberangkatan sudah dekat, perjalanan sangat menakutkan, penuh dengan jebakan yang memeperdayakan dan bahaya yang besar, sedang Pengawas Maha Melihat.
Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kami dan juga kamu.~
(Muhammad Ahmad ar-Rasyid dalam buku Ar-Raqa’iq (Pelembut Hati))

Dunia ini penjara bagi orang beriman ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar