Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Senin, 03 Maret 2014

Dia Tanpa Aku

Pilihan Langit
Maliki menelusuri kamar petakku. Bibirnya berdecak menggerutu. Seraya mengumpulkan helaian koran menjadi satu. Membacanya satu persatu. Tampak jelas riak wajahnya sendu. Katanya, di mana komitmenku? Kau tak mengerti, jawabku.
***
Ini ketiga kalinya Bang Anas meneleponku. Memastikan perihal kesediaanku mengisi Mentoring di kampus. Aku garuk kepala. Alasan belum siap sudah kuungkapkan ketika ia memintaku menjadi ketua panitia dalam sebuah seminar dakwah yang besar. Ku putar otakku, mencari alasan lain. Refleks, kukatakan,
’Afwan, ana merasa belum cukup ilmu, Bang.”
Nun jauh disana, helaan berat Bang Anas terdengar. Kemana lagi ia harus mencari tambahan tutor? Tapi Bang Anas mengalah. Sambungan telepon terputus.
Berhasil.
“Antum akh..” Maliki membuka mulutnya.
“’Kan serahkan pada ahlinya, akh.” Aku membela diri. Sudah tahu apa yang mau ia katakan.
“Kalau semua ikhwah seperti itu, kacau, akh. Ngisi halaqoh itu nyebar ilmu, dan Allah sudah menyuruh kita semua untuk menebarkan ilmu. Memimpin itu wajar, toh kita semua pemimpin. Hal-hal seperti itu nggak saklek jadi ahli dulu. Kita sambil belajar.” Maliki menyeruput teh hangatnya, kemudian berujar kembali, “seperti akhi Hasan, dari segi manapun dilihat, dia pendiam dan pemalu parah. Kalo ketemu akhwat nunduk-nunduk sampe jatuh ke got, toh tetep mau ngisi mentoring. Akhi Deni, ahlinya karya tulis, toh jadi ‘ustadz’ untuk adik-adiknya juga bisa.”
Maliki terus memberikan contoh dari semua ikhwan di muka kampus. Aku meringis. Semakin sakit jika mendengar prestasi bintang-bintang itu. Memang aku yang salah.
“ana.. hanya merasa tidak pantas.”
“Kalau gitu, ayo! Kita memantaskan diri.” Seru Maliki sambil tertawa. Gigi gerahamnya sampai terlihat. Jemarinya menjulur padaku seolah mengajak pergi.
Bang Anas memang pernah bilang pada kami, Al-Fatih tak pernah tahu, bahwa dialah yang menaklukan Romawi. Bahwa dialah yang dimaksud dalam Al-Quran. Yang ia lakukan hanyalah memantaskan diri. Terus memantaskan diri.
“Antum harus selalu belajar agar pantas dapet IP tinggi. Kalo Nggak belajar wajar kalo antum tidak pantas dapet IP 3,00 apalagi 4,00. Alhamdulillah antum dapet IP tinggi, itu artinya selama semester kemarin, antum selalu belajar kan? Selalu berusaha memantaskan diri, bukan? Sama, antum merasa tidak pantas di dakwah ini? Ayo berusaha supaya pantas. betul akhi?” kata Bang Anas saat itu, kata-katanya kembali mengitari kepalaku. Amalan ini tak pernah pantas untuk menebus syurga. Tapi, Allah selalu bilang untuk terus berusaha memantaskan diri.
Ku cukupkan hari ini. Ada getir menulusup dalam dada. Perasaan bersalah tiba-tiba muncul. Ku biarkan saja..
***

“’Afwan, bang..” kataku esok harinya. Ingin minta maaf.
Beberapa saat yang lalu, kudapati Bang Anas duduk di Taman. Ku hampiri ia.
“Lho, untuk apa?”
“Penolakan kemarin..”
Hening.
“Ana harap abang tidak marah.”
la..” Bang Anas tersenyum. “ana tidak marah sama sekali.”
Aku mengangkat kepala. Udara lega perlahan mengalir.
“Bukan antum yang menolak amanah ini. Pada hakikatnya, Allah tidak memilih antum.”
Aku terhenyak.
Bang anas pamit undur diri. Ingin menemui dosen, katanya. Meninggalkanku seorang diri. Meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya barusan. Kutatap punggung Bang Anas hingga titik terjauh. Tidak! Yang di sebelah situ!
Itu bukan punggung Bang Anas. Itu punggung siapa? Kenapa aku jauh? Kenapa jaraknya dekat dengan Maliki? Kenapa sangat dekat dengan Hasan? Punggung Dia, ya? Punggung dakwah..?
Perlahan air mata ini mengalir. Menyisakan jejak panjang di wajah. Kenapa aku begitu lega sedangkan yang lain susah? kenapa tidak sedih ketika tak terpilih? Dan bodohnya, aku yang membuat diriku sendiri tak terpilih!

“Bukan kamu yang menolak amanah.
Pada hakikatnya,
Allah tidak memilihmu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar