Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Senin, 03 Maret 2014

Dia Tanpa Aku


Di atas Amanah

Ada sebuah catatan menarik dari pertemuan antara Aku dan Dia. Dari beberapa kalimatnya, Ia berkata, “Saya baru bertemu denganmu. Maukah kamu masuk ke rumahku? Mungkin tidak banyak hal menyenangkan.” Ungkapan yang terakhir, ada anggapan bahwa seolah-olah Aku akan menemukan hal buruk.
Mungkin rumahnya benar-benar tak menyenangkan.
“Bagaimana rasanya?” Mas Fadli bertanya padaku.
Aku melukis gelombang lautan di dahi yang seolah terombang-ambing oleh angin. Pertanyaan Mas Fadli lebih kepada khawatir ketimbang ingin tahu. Jawabku, “Sejauh ini baik, Mas.. Dia menyenangkan. Kemarin kami tamasya ke bukit bintang.”
“Alhamdulillah. Yang baik dengannya ya Gus.”
“InsyaAllah” Aku mengangguk.
Enam bulan yang lalu Mas Fadli menceritakan padaku tentang badai. Seperti para pujangga ia berkata bahwa di tengah badai kita merindukan pahlawan.
Pahlawan yang kata Sapardi, "telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah". Pahlawan yang kata Chairil Anwar, "berselempang semangat yang tak bisa mati”. Lalu serta merta Mas Fadli meminta padaku untuk datang ke sebuah rumah sewaan pada sore harinya. Maka, jadilah hari itu titik awalku berkenalan dengan Dia.
Dia tahu, Aku maniak ilmu seperti buku pada pena. Meraup semua teori menjadi karya, dia tahu itu. Namun ketika sebuah keputusan jamaah tiba, bahwa aku harus memimpin Al-Iltizam, Sebuah tanah perang yang tak pernah aku harapkan sebelumnya. Sekerat kecewa menelusup ke dada. Aku tak pernah tahu itu, tapi setiap melihat ikhwah di wajihah yang aku cintai terbang kesana kemari menyapa, aku seperti hangus.
’afwan. Ikhlas antum, Gus?” suara Mas Said menggelegar.
“InsyaAllah. Ini sudah menjadi amanah untuk ana.” Jawabku lebih menggelegar. Sore itu Mas Said mendatangiku.
“Lantas kenapa seperti ini?” Mas Said menjulurkan berlembar kertas yang dipegangnya sedari tadi. Di kertas itu, tinta pena telah mengering, grafik kader menurun. Kajian tak pernah rutin. Kehadiranku pun dalam tiap agenda bisa dihitung. Benar-benar hancur! 
Ana tahu antum berusaha amanah.” Ujar Mas Said akhirnya. “Tapi antum harus tahu, amanah saja tidak cukup!”
Darahku berdesir. Setengah berbisik kubilang, “lantas?”
“Cinta, akhi. Antum harus cinta!”
Aku bergeming. Tak punya alibi untuk berkata tidak. Tapi tak sudi untuk membenarkan. Aku merasa telah memiliki cinta pada Al-Iltizam. Tapi sebesar apa?
Cinta yang akan membentuk cita-cita besar. Impian besar. Impian yang akan dibawa kemana pun, bahkan dalam tidur. Impian yang membuncah dalam hati dan darah. Impian yang mendobrak paksa pintu lelah. Impian yang akan membawa Al-Iltizam menjadi besar. Aku miskin cita-cita seperti itu!
Telingaku panas. Kembali terngiang ucapan Mas Fadli setahun yang lalu, “orang-orang yang menganggap Al-Iltizam hanya sekadar organisasi seperti yang lain. Maka sampai di situlah kinerjanya. Jangan menuntut hal besar pada orang seperti itu.”
Samar-samar kulihat dia, sosok yang dikenalkan Mas Fadli dahulu. Dakwah. Berjalan meninggalkanku. Kubilang padanya untuk menunggu. Tapi Ia tak pernah menunggu. Aku yang harus mengejarnya. Terseok-seok mengajak baikan.[]
Dia tanpa aku
: baik-baik saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar