Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Rabu, 19 November 2014

Etika dan Regiliusitas Anti Korupsi

Jazz dan Orkestra : Optimisme Pemberantasan Korupsi 
Oleh Ika Y. Suryadi


 (Sumber gambar : lifestyle.kompasiana.com)

Masalah terbesar Negeri kita, pada awalnya bukan ketika rakyatnya terjangkit kemiskinan. Tapi karena kita mengizinkan gejala-gejala untuk miskin itu datang. Sebuah gejala bernama korupsi. Kita tidak lekas berobat ketika korupsi telah menggerogoti Negeri kita. Sehingga jadilah negeri kita, negeri pesakitan.
Seorang penulis, Helvi Tiana Rosa mengatakan, “Jagalah penerusmu bahkan sebelum ia lahir.” Seorang Ibu yang baik tentu sadar bahwa ia harus mempersiapkan kehadiran anaknya bahkan sebelum anak itu ada di dalam rahimnya. Ia akan mengerahkan semua potensi; jasmani, rohani, fikrah, lantas menggabungkan semua itu menjadi orkestra. Demi masa depan Indonesia, kita harus menjaga anak Negeri kita bahkan sebelum mereka lahir. Parahnya, mereka lahir dan langsung dihadapkan kenyataan bahwa Tanah air sedang miskin. Mereka ingin mengurus surat-surat penting, nyatanya, harus mengeluarkan “pelicin” terlebih dahulu agar urusannya lancar. Mereka harus belajar menghadapi bahwa korupsi telah menjadi sesuatu yang inevitable yang sudah ada disekitar mereka dan idealnya, mereka pun harus ikut membantu memerangi korupsi.
Korupsi itu sendiri memiliki tiga daerah. Heidenheimer (1989:149 ff in Vargas ) membedakan tiga korupsi di masyarakat yaitu (1) Korupsi Putih yang biasanya terjadi di sistem berbasis keluarga tradisional serta sistem berbasis patron-klien. (2) Korupsi Abu-abu yang tercela dalam standar moral masyarakat, tetapi orang yang terkena dampak secara luas tidak menyadari itu salah. (3) Korupsi Hitam yang umumnya dianggap sebagai pelanggaran moral masyarakat dan norma hukum yang parah. Dalam beberapa contoh bentuk korupsi yaitu suap, kolusi, penggelapan dana publik dan pencurian, penipuan,  pemerasan, penyalahgunaan kebijaksanaan, pemberian, nepotisme, penjualan properti pemerintah oleh pejabat publik, patronase, dll (Vargas, 2012.). Korupsi juga dapat berupa pemerasan pajak, manipulasi tanah, jalur cepat pembuatan ktp, sim jalur cepat, mark up budget/anggaran, proses tender, penyelewengan dalam penyelesaian (Suwitri). Rupanya, korupsi telah hidup di semua kalangan dalam skala yang berbeda.
Kenyataan bahwa korupsi ada di mana-mana memang telah membuat masyarakat pesimis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah masyarakat yang golput setiap tahun. Korupsi telah membuat rakyat memiliki ilusi bahwa korupsi menjadi budaya. Nyatanya, korupsi bukan budaya tapi “dibudayakan”. Rasa frustasi masyarakat yang rindu the good society, yang seharusnya dapat dicapai dengan perangkat demokratik namun dihadapkan pada sistem ekonomi yang bisa memberikan kontribusi secara material, namun tidak secara moral. Korupsi adalah ‘gejala’ yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
Sebenarnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terlihat “nge-jazz”. Konser musik Jazz yang dipimpin oleh seorang maestro. Ketika sang Maestro menunjuk pemain Trombon, maka pemain memainkan trombon, jika Maestro menunjuk pemain gitar, pemain Trombon diam dan pemain gitar yang bermain. Jika Maestro tidak menunjuk, maka mereka diam. Seperti itu seterusnya hingga sang Maestro tak menunjuk mereka lagi. Masalahnya, indahnya musik Jazz menjadi kabur ketika itu menjadi perumpamaan bagi kinerja pemberantasan korupsi di Negeri kita. Sejenak kita menelisik selama ini siapa yang paling gencar memberantas korupsi. Otomatis masyarakat akan menyebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK seolah menjadi satu-satunya andalan dalam memberantas tikus Negeri. Menyaksikan betapa gencarnya KPK menangkap para koruptor, sedikit menyisakan rasa tanya besar, apakah hanya KPK saja yang melakukan ini? Bak seorang Maestro di konser musik Jazz, Negeri ini hanya membiarkan KPK untuk menangani ini semua. Cepat atau lambat, KPK akan menemukan kesulitan. Penulis tidak meremehkan kredibilitas KPK, namun cukupkah kita hanya mengandalkan KPK dan tidak ikut berpartisipasi? Yang ditakutkan adalah, KPK terlena dengan nina bobok kekuatannya, tertipu dengan riuhnya tepuk tangan penonton.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa korupsi tidak akan pernah lenyap jika sistem politik dan kekuatan politik di negeri Indonesia tidak mendukung sepenuhnya. Sistem yang berbelit-belit. Sistem yang memaksa calon legislator, bupati dan lainnya membayar mahal agar terpilih. Sistem yang membuat komitmen moral kian runtuh. Sistem yang malah mengkhianati demokrasi itu sendiri dimana seharusnya suara di tangan rakyat, bukan uang. Kita perlu kembali meluruskan demokrasi yang berkembang saat ini agar tidak ke arah otoriterisme, perubahan pada UUD 45 yang mengukuhkan kembali peran golongan dan utusan daerah, serta penguatan karakter bangsa. Terlebih lagi di masa sekarang, masyarakat dapat mengakses informasi baik di media cetak maupun di media elektronik. Namun, maraknya media memberitakan kasus korupsi dari waktu ke waktu malah membentuk narasi yang berbeda. Arief Kumaedhy, staff di bidang kedeputian bidang perkonomian, mengatakan, Persepsi ini berpotensi menyumbang munculnya sikap pesimismtis terhadap langkah-langkah pemberantasan korupsi yang juga dikhawatirkan memunculkan persepsi kedua, yaitu tentang kegagalan dalam upaya membangun negara ini.
Polemik ini tidak harus membuat kita putus asa untuk menjaga penerus kita, karena kita masih bisa melakukan pembenahan besar-besaran tanpa mengabaikan proses hukum terhadap koruptor yang terbukti bersalah. Kita perlu saling bahu-membahu membangun seperti apa yang di katakan Jeremy Pope yakni Sistem Integritas Nasional (SIN). Sebuah sistem yang terdiri atas pilar. Pilar-pilar itu meliputi Pemerintah, DPR, Pengadilan, Pegawai Negeri, Lembaga-lembaga pengawas (seperti Ombudsman, komite akuntan Publik, BPK, BPKP, KPPU, KPTPK, Polisi dan lain-lain), masyarakat sipil, sektor swasta, media massa, badan-badan Internasional dan diri sendiri. SIN menjadikan seluruh elemen masyarakat bekerja memberantas korupsi. Gerakannya persis permainan orkestra. Semuanya bekerja di wilayah mereka masing-masing. Karena keselarasan perpaduan antara integritas pribadi, institusi, hubungan antarinstitusi dan suprastruktur akan memayungi perangkat pengelolaan Negara. Selain itu ada baiknya cara pandang terhadap pemberitaan tentang korupsi ini di balik dengan menggunakan kaca mata optimistis serta menjadi media yang independen dan lebih arif dalam menyampaikan informasi. Melalui SIN yang semua elemen bekerja, kita perlu melakukan reformasi administrasi negara seperti yang di katakan oleh Soesilo Zauhar (1996), yakni reformasi terhadap (1) Struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional/kelembagaan), (2) Sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi,  terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Dengan melakukan penyeluruhan (SIN) dan reformasi, korupsi menjadi ‘beresiko tinggi dengan keuntungan kecil”. Terakhir, seorang maestro yang lihai diperlukan memimpin Negeri ini. Bukan hanya Presiden karena jika ada ungkapan “setiap orang adalah pemimpin” maka, saatnya kita menjadi pemimpin yang membangun Indonesia. Kita pun sebagai kaula  muda perlu bekerja untuk Indonesia yang lebih baik dengan kacamata optimis. Toh, semua ini demi senyum penerus kita kelak kan?
Dimulai dari diri sendiri. []

Referensi materi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar