Kalau
Kau ke Apotek Itu
Aku datang
dengan air muka hancur-hancuran. Tapi dia selalu tersenyum bila lihat aku.
Silakan bayangkan aku ini antagonis dan dia protagonis. Sebeku apapun hati
orang, disapa tiap ketemu juga luluh, kan? Tapi jangan bayangkan aku ini
se-antagonis tokoh di sinetron. Aku nggak level melemparkan pot bunga dari atas
gedung ke seorang gadis lugu.
Katanya, “di
sini, di sini, mau belanja ya?”
Pikirku,
“Siapa? Ngomong dengan aku ya?” lalu aku hanya mengangguk. Semuanya berlalu
seperti angin. Hingga sebuah kesempatan bernama ketetapan Tuhan membuatnya jadi
beda. Aku adalah pelanggan terbaik apotek itu. Bertandang 3 kali seminggu boleh
juga. Ada-ada saja yang harus dibeli. Apapun harus dibeli.
“....”
saat itu aku
bahkan nggak komentar apapun ketika
lihat ban motor kempis. Sudahlah, lupakan orang tidak punya semangat ini. Tapi
tukang parkir itu mendekat dan tersenyum. Telunjuknya mengarah ke arah jam
sembilan. Ada bengkel kecil di sana. “Makasih..” kataku pelan. Senyum sedikit.
Aku juluki dia
Tukang Parkir 1. Perawakannya persis caesar yang sering joget-joget di TV.
Senyum mereka sama. Hanya peruntungannya saja yang beda. Rambutnya di cat warna
kemerah-merahan. Dengan rompi orange dan teriakan-teriakannya. Kadang bicaranya
suka dibuat ala banci. Tapi dia asli. Lelaki baik. Akhirnya aku tau, nama orang
itu Ucok. Allah memang baik. Suatu hari bibirku komat-kamit, berdoa. Sepertinya
aku tidak ada uang untuk bayar parkir. Hebatnya, Pak Ucok tidak mau terima uang
bayar parkirku.
“Tunggu ya Bu,
aku cari dulu sosoknya.” Kata pak ucok pada seorang Ibu.
Aku keluar
apotek, menyerahkan uang seribu – yang akhirnya ketemu setelah ngorek2 tas –
pada dia . Dengan alasan sedang sibuk menghitung uang, dia menyuruhku pergi
saja. Ibu itu protes. “Eh dia sih beda bu, sudah sering ke sini.” Pak Ucok
membelaku. Untuk kali pertama, Aku tersenyum geli di tempat itu.
Sepertinya dia
punya bakat analisis. Selalu kepo kenapa aku suka sekali datang ke apotek. Aku
diam sajalah. Seolah aku ini bilang padanya “Anda tidak boleh masuk ke areaku.”
Lalu entah sejak kapan tepatnya, aku ini gratis biaya parkir.
Sebenarnya, Ada
dua orang tukang parkir lagi. Tukang Parkir 2 dan Tukang Parkir 3. Jadi ketika
Pak ucok sedang sibuk dengan yang lain, ia kerapkali berteriak lalu berlari
sekcang-kencangnya ketika melihat aku ingin membayar uang parkir ke temannya.
Tukang parkir 2, Pak Hutabarat namanya. Ia lantas melongo. Sama, Tukang Parkir
3, Herman, ia juga melongo. Mungki mereka mikir “Rezeki kok di buang”.
“Siapa yang
sakit?” katanya ceria. “Kuliah ya?
Dimana?”
Serentetan
tanya aku jawab juga. Asalkan “tidak masuk ke area aku”. Kemudian sejak
itu, ia tidak mau terima uangku. Kadang
Aku nggak enak jadi bayar sajalah. Tapi dia nolak. Aku bilang, sekali-sekali
pak, Saya jangan keseringan. Lalu ia terima.
Entah sejak
kapan, alasanku selalu datang ke apotek tersebar ke Pak Hutabarat dan Herman.
Infonya menyebar cepat bersaing dengan modem internet. Lantas mereka bertiga
selalu menggratiskan biaya parkir. Mereka baik. Upah jadi tukang parkir itu
berapa? Penasaran. Sedikit bisa jadi. Tapi mereka baik. Kemiskinan mereka tidak
menghalangi mereka untuk menjadi orang yang berempati. Mereka tidak matre. Itu
letak spesial mereka. Ada udara sejuk menelusup hatiku. Apa ya namanya? Mungkin
terharu.
Sampai aku
bergumam. Kelak jika tiba saatnya aku menikah. Aku undang mereka. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar