Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Sabtu, 19 April 2014

Kisah : Kalau Kau Ke Apotek Itu

Kalau Kau ke Apotek Itu

Aku datang dengan air muka hancur-hancuran. Tapi dia selalu tersenyum bila lihat aku. Silakan bayangkan aku ini antagonis dan dia protagonis. Sebeku apapun hati orang, disapa tiap ketemu juga luluh, kan? Tapi jangan bayangkan aku ini se-antagonis tokoh di sinetron. Aku nggak level melemparkan pot bunga dari atas gedung ke seorang gadis lugu.

Katanya, “di sini, di sini, mau belanja ya?”
Pikirku, “Siapa? Ngomong dengan aku ya?” lalu aku hanya mengangguk. Semuanya berlalu seperti angin. Hingga sebuah kesempatan bernama ketetapan Tuhan membuatnya jadi beda. Aku adalah pelanggan terbaik apotek itu. Bertandang 3 kali seminggu boleh juga. Ada-ada saja yang harus dibeli. Apapun harus dibeli.
“....”
saat itu aku bahkan nggak komentar apapun ketika lihat ban motor kempis. Sudahlah, lupakan orang tidak punya semangat ini. Tapi tukang parkir itu mendekat dan tersenyum. Telunjuknya mengarah ke arah jam sembilan. Ada bengkel kecil di sana. “Makasih..” kataku pelan. Senyum sedikit.
Aku juluki dia Tukang Parkir 1. Perawakannya persis caesar yang sering joget-joget di TV. Senyum mereka sama. Hanya peruntungannya saja yang beda. Rambutnya di cat warna kemerah-merahan. Dengan rompi orange dan teriakan-teriakannya. Kadang bicaranya suka dibuat ala banci. Tapi dia asli. Lelaki baik. Akhirnya aku tau, nama orang itu Ucok. Allah memang baik. Suatu hari bibirku komat-kamit, berdoa. Sepertinya aku tidak ada uang untuk bayar parkir. Hebatnya, Pak Ucok tidak mau terima uang bayar parkirku.
“Tunggu ya Bu, aku cari dulu sosoknya.” Kata pak ucok pada seorang Ibu.
Aku keluar apotek, menyerahkan uang seribu – yang akhirnya ketemu setelah ngorek2 tas – pada dia . Dengan alasan sedang sibuk menghitung uang, dia menyuruhku pergi saja. Ibu itu protes. “Eh dia sih beda bu, sudah sering ke sini.” Pak Ucok membelaku. Untuk kali pertama, Aku tersenyum geli di tempat itu.
Sepertinya dia punya bakat analisis. Selalu kepo kenapa aku suka sekali datang ke apotek. Aku diam sajalah. Seolah aku ini bilang padanya “Anda tidak boleh masuk ke areaku.” Lalu entah sejak kapan tepatnya, aku ini gratis biaya parkir.
Sebenarnya, Ada dua orang tukang parkir lagi. Tukang Parkir 2 dan Tukang Parkir 3. Jadi ketika Pak ucok sedang sibuk dengan yang lain, ia kerapkali berteriak lalu berlari sekcang-kencangnya ketika melihat aku ingin membayar uang parkir ke temannya. Tukang parkir 2, Pak Hutabarat namanya. Ia lantas melongo. Sama, Tukang Parkir 3, Herman, ia juga melongo. Mungki mereka mikir “Rezeki kok di buang”.
“Siapa yang sakit?” katanya ceria.  “Kuliah ya? Dimana?”
Serentetan tanya aku jawab juga. Asalkan “tidak masuk ke area aku”. Kemudian sejak itu,  ia tidak mau terima uangku. Kadang Aku nggak enak jadi bayar sajalah. Tapi dia nolak. Aku bilang, sekali-sekali pak, Saya jangan keseringan. Lalu ia terima.
Entah sejak kapan, alasanku selalu datang ke apotek tersebar ke Pak Hutabarat dan Herman. Infonya menyebar cepat bersaing dengan modem internet. Lantas mereka bertiga selalu menggratiskan biaya parkir. Mereka baik. Upah jadi tukang parkir itu berapa? Penasaran. Sedikit bisa jadi. Tapi mereka baik. Kemiskinan mereka tidak menghalangi mereka untuk menjadi orang yang berempati. Mereka tidak matre. Itu letak spesial mereka. Ada udara sejuk menelusup hatiku. Apa ya namanya? Mungkin terharu.

Sampai aku bergumam. Kelak jika tiba saatnya aku menikah. Aku undang mereka. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar