Lewat Pena, Mari Melakukan
Perbaikan!
Tema : Mengapa harus menjadi Penulis?
Oleh
Ika Y. Suryadi
Sejarah
mencatat, menulis adalah aktivitas yang memiliki peran besar dalam peradaban bahkan
perubahan dunia. Tapi kebanyakan kita masih ‘sakit’ untuk menyadari dan mengizinkan
diri untuk ikut berperan dalam perubahan dunia. Bahkan kita tidak lekas berobat
ketika penyakit itu telah menggerogoti peradaban kita. Sehingga jadilah dunia kita,
dunia pesakitan.
Amat
sedikit dari kita yang menyadari bahwa peradaban manusia ribuan tahun yang lalu
telah dipengaruhi oleh dunia kepenulisan. Ketika manusia masih belum mengenal
pena dan buku, instingnya sebagai makhluk yang selalu terikat dengan komunikasi
telah membawa diri mereka sendiri dalam menulis. Menulis sebagai media
komunikasi dalam menyampaikan pesan, ide dan pemikiran sudah digunakan oleh
manusia zaman pertama tersebut sekalipun mereka belum mengenal alfabet. Mereka mengirim
pesan-pesan dengan tulisan gambar lantas berkembang menjadi seperti saat ini.
Seorang penulis tunanetra, Hellen Keller pernah berkata, “Kalian bisa saja membakar buku-buku saya, tapi pemikiran yang dimuat dalam buku-buku itu telah melewati ribuan saluran dan akan terus mengalir.”
Kita
tentu tak lupa perihal tokoh-tokoh pemimpin seperti; Hitler, Musolini, Mao Tse
Tung, Lenin, Stalin, yang bertanggung jawab besar atas jutaan manusia yang mati
dibantai pada era mereka. Faktanya, kekejaman mereka dalam memimpin tak pernah
terlepas dari dunia kepenulisan yang ikut handil dalam membentuk pola pikir
mereka. The Prince, sebuah buku yang
ditulis oleh Machiavelli adalah buku bacaan para pemimpin sadis itu. Faktanya,
buku itu mengungkapkan ide bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, pemimpin
diperkenankan menggunakan kekerasan. Bahkan tanpa ragu. Total.
Kenyataan
bahwa semakin bobroknya dunia, kasus-kasus kriminal dan krisis identitas yang
dialami masyarakat termasuk generasi muda saat ini yang semakin memprihatinkan.
Sesungguhnya semua kejadian itu tidak lepas pengaruhnya dari apa yang mereka
dengar, lihat, dan baca. Tak dinaya, Pemikiran telah merasuk pada mereka.
Selain
itu, maraknya gerakan-gerakan mengatasnamakan kebebasan yang nyatanya malah kebablasan,
serta isme-isme yang didengungkan
oleh para penganutnya telah meracuni masyarakat sampai ke titik nadir. Bahkan setiap
mereka menyatakan bahwa isme mereka
lah yang paling benar sementara isme tersebut telah melucuti habis kodrat
manusia sebagai hamba-nya Tuhan. Contoh nyatanya adalah Buku Das Capital, yakni sebuah buku hasil
dari pemikiran Karl Marx yang telah membuat aliran baru bernama komunisme dan
sosialisme telah memisahkan dunia antara barat dan timur berpuluh-puluh tahun
lamanya. Pun aliran itu juga yang telah mengakibatkan pecahnya peristiwa G30S
PKI pada tahun 1965 di Indonesia. Sekali lagi, rupanya menyalurkan pemikiran tanpa
ikut terjun ke lapangan adalah benar-benar senjata pembunuh yang paling ampuh.
Karena
itu, selain melawan sepi, menyentuh
orang-orang yang jauh, menguatkan ingatan dan mendisiplinkan diri untuk
berpikir, menulis sebenarnya adalah upaya kita untuk melakukan perbaikan bagi
ummat serta berkontribusi nyata untuk memberikan pemikiran yang lurus bagi
masyarakat. Di dunia ini, kita butuh orang-orang yang dapat melakukan
perubahan. Di Dunia ini kita butuh orang-orang yang menjadikan mata penanya
sebagai peluru. Seperti yang pernah nabi penutup zaman, Muhammad SAW pernah
sabdakan bahwasanya, dari Abi Hurairah R.A., Rasulullah SAW bersabda,
"Tiga orang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah : Mujahid
yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi
penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya." (HR.
Thabrani).
Sebuah
sabda indah seolah mampu menembus ruang dan waktu, Sang Nabi tahu benar bahwa
sepeninggal beliau, dunia ini memang akan sangat butuh para penawar untuk mengubah
keadaan. Para penawar yang menyembuhkan dunia kita yang pesakitan, para penggerak
jiwa yang mampu membimbing setiap akal untuk berpikir cerdas dan lurus. Selain memiliki
mental pejuang, setiap kita harus memiliki mental penulis yang berjuang, betapapun
berbeda latar belakang yang kita miliki. Maka benarlah, sebuah kalimat nasehat yang
pernah diucapkan Imam Al-Ghazali, “Bila
kamu bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah.” cukup
membuat penulis merenungkan banyak hal. Barangkali, setiap kita –termasuk
Hellen Keller– menyadari bahwasanya kita bukanlah siapa-siapa pada awalnya,
sampai kita memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk menjadi seseorang
yakni, penulis yang memberikan inspirasi sepanjang zaman. Menjadi sosok yang
masih memeluk generasi sekalipun kita telah menjadi kerangka. Jadi, ayo menulis!
Referensi
:
Pribadi,
A. 2013. Gara-gara Indonesia.
Asmanadia Publishing House, Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar