JEMPUT
AKU
Oleh Qanita Asyd
22. 30 WIB
Wanita senja itu
tertatih berjalan menelusuri tapak demi tapak pinggiran hutan. Sungguh terlalu
malam baginya untuk sebuah perjalanan tanpa ujung. Berbekal segenggam harapan
yang nyaris habis, ia langkahkan kaki tanpa alas. Wajahnya pias dan lusuh. Deru
nafasnya terdengar jelas berlomba dengan hati gerimisnya yang sakit bagai
disayat sembilu. Genggaman tangannya erat mencengkeram sehelai kain merah yang
sepertinya dirobek paksa oleh seseorang. Sesekali diciuminya sambil menangis
seraya membisikkan kata demi kata penuh harap.
“Perbekalan telah
menipis, nak..” desahnya parau. Tubuhnya menggigil diterpa angin. Sosok itu
tampak kacau. Bahkan perompak yang biasa bersembunyi di dalam hutan dan
menjegal mangsa tidak sudi meliriknya lantaran ia laksana seonggok daging tanpa
jiwa, tanpa harta. Tatapan matanya yang liar mencari-cari sesuatu yang hilang
dari dekapannya. Wanita tua itu kini mulai lelah dan mendudukkan dirinya di
bawah pepohonan hanya untuk melantunkan syair-syair pedih atau berusaha untuk
terlelap walau sejenak agar ia dapat bertemu permata hatinya yang hilang
direnggut kelompok brutal di alam bawah sadar.
“Orang-orang
berengsek..” desisnya. Ingin sekali ia melakukan suatu hal lebih dari apa yang
beberapa minggu kemarin bisa ia lakukan. Mungkin membunuh. Lalu ia akan
mengoyak dan mengeluarkan isi perut mereka. Saat itu Ia hanya meronta. Hari itu
sungguh kelam tanpa pembelaan. Hari ketika putra terkasihnya dikeroyoki, dilucuti
harga dirinya dan diseret hingga ia hanya menyisakan darah anyir dan sehelai
kain merah untuk seorang Ibu tua.
Ia terisak.
Labirin-labirin otaknya seperti menayangkan kembali kejadian itu dalam tempo
lambat. Suara dobrakan pintu, suara langkah-langkah berat, suara tembakan
berulang kali..dan teriakannya sendiri. Orang-orang misterius itu menyeret
putranya dan dirinya keluar rumah. Wajah muram durja para penduduk yang tak
mampu membela membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Wanita tua itu menggeliat
berharap bisa lolos dari cengkeraman tangan besar yang menawannya. Dilihatnya
sekilas, putranya dikeroyoki hingga jatuh terjerembab. Ia meronta. Jiwanya
sakit. Ia ingin berlari dan merangkul putranya agar pukulan bertubi-tubi itu
terarah padanya saja. “Duh, Gusti……”
“Ini balasan untuk
pemberontak seperti dia!” hardik salah seorang dari mereka.
Pemberontak. Ya,
pemberontak adalah sebutan bagi orang-orang yang tidak setuju pada gerakan
mereka. Entah sejak kapan, kerusuhan telah menjadi bagian dari kampungnya.
Dengan mengatasnamakan pembebasan, mereka beraksi membabi-buta demi menguasai
daerah. Bertindak menjajah di negeri sendiri dan berani membunuh siapapun yang
menghalangi. Terlebih lagi untuk putranya yang dengan berani langsung angkat
bicara tentang ketidaksetujuannya.
“Rasa kemanusiaan yang
masih dibatasi oleh batas-batas daerah bahkan negara sekalipun, itu bukan
kemanusiaan! Untuk itu aku disini!” teriak putranya lantang dahulu. Pemuda itu
begitu kokoh memegang prinsipnya. Prinsip kemanusiaan.
Tapi, kini pemuda
sekokoh gunung itu ambruk di dalam lingkaran amukan manusia-manusia keji. Tak
berdaya tubuhnya, Hancur hatinya kala melihat Ibunya ditampar berulangkali
dalam jarak sekitar dua meter darinya. Kaca-kaca murni pecah di matanya. Terus
bercucuran kala ia diseret paksa memasuki mobil. Entah akan dibawa kemana dia,
yang ia tahu.. itu pasti jauh. Yang ia tahu.. ia akan sangat merindukan Ibunya.
“Keji.. biadab..” desis
wanita tua itu lagi, kali ini ia hanya bisa memukuli tubuhnya dengan geram. Flashback yang menari-nari di kepala
kembali menebarkan wangi rindu pada putranya. Membuat adrenalinnya kembali
melonjak dan meluap.
“KALIAAN SETAAAAN…!!”
teriaknya memecah kesunyian malam. Tangannya singgah di dadanya yang naik turun
menahan perih. Kerongkongannya terasa sakit menahan tangis. Menahan kesakitan seorang
Ibu yang menyesakkan jiwa, menyempitkan dada.
Ditatapnya langit malam.
Lama.
Bibirnya gemetar,
mengeluh pada Sang Maha Raja.
***
“Suara tembakan!
Suara!” seru wanita tua itu. Matanya membelalak dan mencari-cari sumber suara.
Suara tembakan itu telah membuatnya terjaga. Burung-burung kecil kaget dan
menghindar kabur. Tubuh wanita renta itu bergerak-gerak diantara rerimbunan
semak, mengendap-endap mencari sumber suara. Sejurus kemudian, ia tercenung.
Sekitar dua ratus meter, tampak siluet-siluet orang bersenjata menodongkan
senapan ke arah dua pria didepan mereka yang berpenampilan lain. Seragam yang
mereka pakai sama dengan seragam orang-orang yang mendatangi rumahnya!
Tergopoh-gopoh wanita
itu melangkah menuju pohon didepannya.
“Aku sudah dekat,
nak..” bisik wanita itu. Wajah pucatnya memancarkan cahaya yang telah lama
hilang. Udara harap menelusup ke dalam hatinya dan menggedor-gedor pintu
semangat. Tak dihiraukannya lagi tubuhnya yang sakit, kaki yang berdarah, atau
lapar yang menyiksa. Ia harus menjemput anaknya!
***
Pergi
dan larilah secepat yang kau bisa!
Kata-kata itu masih berdenging
di telinga. Pemuda berantakan itu berlari terseok-seok. Ia ingat pesan lelaki
tua yang membantunya kabur untuk tidak menoleh ke belakang bahkan kembali.
Tentu ia akan kembali dengan membawa rombongan pelindung. Ya, kembali. Tapi
nanti, tunggu sampai ia bisa berbaring sejenak di pangkuan wanita bersahaja
yang beberapa minggu ini telah membuatnya sesak dada karena rindu. Akan ia ceritakan
semua, tentang mayat bergelimpangan atau lautan darah yang selama ini
membuatnya mual.
Ibu…
Pemuda penuh luka itu
tersenyum dalam. Disibaknya semak belukar yang menghalangi langkahnya. “aku
harus cepat” pikirnya. Matanya terus menerawang kedepan, memikirkan sang Ibu.
Sedang apakah dia sekarang?
Namun, setelah beberapa
saat bercengkerama dengan harap, pandangan matanya menemukan jejak-jejak baru.
Jejak darah. Jejak yang justru mengarah ke tempat mengerikan itu. Pemuda itu
membeku. Jantungnya berdegup kencang. Dihadapannya tergeletak sehelai kain
merah yang rasanya tak asing lagi. Tak salah lagi, itu miliknya. Mata sendunya
bergerak liar mencari seseorang seraya berbisik dalam hati bahwa ia hanya
mengigau. Dengan tubuh yang masih
gemetaran, ia mendengar suara keras. Suara tembakan!
Seperti orang kesetanan
ia berlari tunggang-langgang, kembali ke tempat yang paling ia kutuk itu.
Seseorang. Ada seseorang yang membuatnya harus kembali. “Ibu….!”
***
Telah
kumiliki cinta sederhana
yang
membuatku berlari padamu
Tak
kusangka, ku dapati engkau berlari padaku lebih dulu..
Jambi,
23 Desember’11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar