Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Selasa, 18 Desember 2012

JEMPUT AKU


JEMPUT AKU
Oleh Qanita Asyd

22. 30 WIB
Wanita senja itu tertatih berjalan menelusuri tapak demi tapak pinggiran hutan. Sungguh terlalu malam baginya untuk sebuah perjalanan tanpa ujung. Berbekal segenggam harapan yang nyaris habis, ia langkahkan kaki tanpa alas. Wajahnya pias dan lusuh. Deru nafasnya terdengar jelas berlomba dengan hati gerimisnya yang sakit bagai disayat sembilu. Genggaman tangannya erat mencengkeram sehelai kain merah yang sepertinya dirobek paksa oleh seseorang. Sesekali diciuminya sambil menangis seraya membisikkan kata demi kata penuh harap.
“Perbekalan telah menipis, nak..” desahnya parau. Tubuhnya menggigil diterpa angin. Sosok itu tampak kacau. Bahkan perompak yang biasa bersembunyi di dalam hutan dan menjegal mangsa tidak sudi meliriknya lantaran ia laksana seonggok daging tanpa jiwa, tanpa harta. Tatapan matanya yang liar mencari-cari sesuatu yang hilang dari dekapannya. Wanita tua itu kini mulai lelah dan mendudukkan dirinya di bawah pepohonan hanya untuk melantunkan syair-syair pedih atau berusaha untuk terlelap walau sejenak agar ia dapat bertemu permata hatinya yang hilang direnggut kelompok brutal di alam bawah sadar.
“Orang-orang berengsek..” desisnya. Ingin sekali ia melakukan suatu hal lebih dari apa yang beberapa minggu kemarin bisa ia lakukan. Mungkin membunuh. Lalu ia akan mengoyak dan mengeluarkan isi perut mereka. Saat itu Ia hanya meronta. Hari itu sungguh kelam tanpa pembelaan. Hari ketika putra terkasihnya dikeroyoki, dilucuti harga dirinya dan diseret hingga ia hanya menyisakan darah anyir dan sehelai kain merah untuk seorang Ibu tua.
Ia terisak. Labirin-labirin otaknya seperti menayangkan kembali kejadian itu dalam tempo lambat. Suara dobrakan pintu, suara langkah-langkah berat, suara tembakan berulang kali..dan teriakannya sendiri. Orang-orang misterius itu menyeret putranya dan dirinya keluar rumah. Wajah muram durja para penduduk yang tak mampu membela membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Wanita tua itu menggeliat berharap bisa lolos dari cengkeraman tangan besar yang menawannya. Dilihatnya sekilas, putranya dikeroyoki hingga jatuh terjerembab. Ia meronta. Jiwanya sakit. Ia ingin berlari dan merangkul putranya agar pukulan bertubi-tubi itu terarah padanya saja. “Duh, Gusti……”
“Ini balasan untuk pemberontak seperti dia!” hardik salah seorang dari mereka.
Pemberontak. Ya, pemberontak adalah sebutan bagi orang-orang yang tidak setuju pada gerakan mereka. Entah sejak kapan, kerusuhan telah menjadi bagian dari kampungnya. Dengan mengatasnamakan pembebasan, mereka beraksi membabi-buta demi menguasai daerah. Bertindak menjajah di negeri sendiri dan berani membunuh siapapun yang menghalangi. Terlebih lagi untuk putranya yang dengan berani langsung angkat bicara tentang ketidaksetujuannya.
“Rasa kemanusiaan yang masih dibatasi oleh batas-batas daerah bahkan negara sekalipun, itu bukan kemanusiaan! Untuk itu aku disini!” teriak putranya lantang dahulu. Pemuda itu begitu kokoh memegang prinsipnya. Prinsip kemanusiaan.
Tapi, kini pemuda sekokoh gunung itu ambruk di dalam lingkaran amukan manusia-manusia keji. Tak berdaya tubuhnya, Hancur hatinya kala melihat Ibunya ditampar berulangkali dalam jarak sekitar dua meter darinya. Kaca-kaca murni pecah di matanya. Terus bercucuran kala ia diseret paksa memasuki mobil. Entah akan dibawa kemana dia, yang ia tahu.. itu pasti jauh. Yang ia tahu.. ia akan sangat merindukan Ibunya.
“Keji.. biadab..” desis wanita tua itu lagi, kali ini ia hanya bisa memukuli tubuhnya dengan geram. Flashback yang menari-nari di kepala kembali menebarkan wangi rindu pada putranya. Membuat adrenalinnya kembali melonjak dan meluap.
“KALIAAN SETAAAAN…!!” teriaknya memecah kesunyian malam. Tangannya singgah di dadanya yang naik turun menahan perih. Kerongkongannya terasa sakit menahan tangis. Menahan kesakitan seorang Ibu yang menyesakkan jiwa, menyempitkan dada.
Ditatapnya langit malam. Lama.
Bibirnya gemetar, mengeluh pada Sang Maha Raja.
***
“Suara tembakan! Suara!” seru wanita tua itu. Matanya membelalak dan mencari-cari sumber suara. Suara tembakan itu telah membuatnya terjaga. Burung-burung kecil kaget dan menghindar kabur. Tubuh wanita renta itu bergerak-gerak diantara rerimbunan semak, mengendap-endap mencari sumber suara. Sejurus kemudian, ia tercenung. Sekitar dua ratus meter, tampak siluet-siluet orang bersenjata menodongkan senapan ke arah dua pria didepan mereka yang berpenampilan lain. Seragam yang mereka pakai sama dengan seragam orang-orang yang mendatangi rumahnya!
Tergopoh-gopoh wanita itu melangkah menuju pohon didepannya.
“Aku sudah dekat, nak..” bisik wanita itu. Wajah pucatnya memancarkan cahaya yang telah lama hilang. Udara harap menelusup ke dalam hatinya dan menggedor-gedor pintu semangat. Tak dihiraukannya lagi tubuhnya yang sakit, kaki yang berdarah, atau lapar yang menyiksa. Ia harus menjemput anaknya!
***
Pergi dan larilah secepat yang kau bisa!
Kata-kata itu masih berdenging di telinga. Pemuda berantakan itu berlari terseok-seok. Ia ingat pesan lelaki tua yang membantunya kabur untuk tidak menoleh ke belakang bahkan kembali. Tentu ia akan kembali dengan membawa rombongan pelindung. Ya, kembali. Tapi nanti, tunggu sampai ia bisa berbaring sejenak di pangkuan wanita bersahaja yang beberapa minggu ini telah membuatnya sesak dada karena rindu. Akan ia ceritakan semua, tentang mayat bergelimpangan atau lautan darah yang selama ini membuatnya mual.
Ibu…
Pemuda penuh luka itu tersenyum dalam. Disibaknya semak belukar yang menghalangi langkahnya. “aku harus cepat” pikirnya. Matanya terus menerawang kedepan, memikirkan sang Ibu. Sedang apakah dia sekarang?
Namun, setelah beberapa saat bercengkerama dengan harap, pandangan matanya menemukan jejak-jejak baru. Jejak darah. Jejak yang justru mengarah ke tempat mengerikan itu. Pemuda itu membeku. Jantungnya berdegup kencang. Dihadapannya tergeletak sehelai kain merah yang rasanya tak asing lagi. Tak salah lagi, itu miliknya. Mata sendunya bergerak liar mencari seseorang seraya berbisik dalam hati bahwa ia hanya mengigau. Dengan tubuh yang  masih gemetaran, ia mendengar suara keras. Suara tembakan!
Seperti orang kesetanan ia berlari tunggang-langgang, kembali ke tempat yang paling ia kutuk itu. Seseorang. Ada seseorang yang membuatnya harus kembali. “Ibu….!”
***
Telah kumiliki cinta sederhana
yang membuatku berlari padamu
Tak kusangka, ku dapati engkau berlari padaku lebih dulu..


                                                                                                                                Jambi, 23 Desember’11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar