LESTARIKAN HUTAN, LESTARLAH GENERASI
Oleh Ika Y. Suryadi
PADA tahun 90-an,
tak jauh dari rumah saya ada semacam parit besar yang memisahkan rawa,
kolam-kolam tadah hujan milik warga, dan juga perkampungan. Parit itu seperti
sungai kecil yang bukan main jernih airnya. Di dalamnya banyak ikan gabus,
wader, dan kapi-kapi berenang. Saya dan teman-teman sepantaran saya kerap
bermain di sana. Kami menangkap ikan, main perosotan air dari pelepah pinang,
dan jebur-jeburan. Pun ketika musim
kemarau tiba (bahkan ketika bencana kabut asap 1997 melanda) parit itu masih
mampu mengalirkan air dari mata air. Burung-burung menumpang mandi, biawak,
tupai dan monyet masih berkeliaran. Dan setidaknya, menyejukkan pandangan di
antara penjara kabut asap bahwa parit itu tak pernah kehabisan air. Hanya
sedikit surut sebagai tanda bahwa dia toh hanya parit.
Akan tetapi,
hari ini sudah berbeda. Saat musim hujan, parit itu hanya sekadar jalan air yang
deras dan keruh. Sementara ketika kemarau, parit itu lebih mirip galian
lubang yang panjang tanpa setetes air. Seolah menunjukkan mata air sudah
terlampau jauh di dalam tanah. Bahkan detik ini, ketika kabut asap akibat
karhutla kembali datang, nasib parit itu tidak sempat lagi ditangisi lantaran warga
sibuk sesak napas dan mencari sumber air ke sana-sini. Jangankan parit, sumur-sumur
galian sudah tandas, kisanak. Kalau pun ada, tentu sudah campur baur dengan rembesan air dari septi tank. Masyarakat sekitar yang dulu terberkahi
dengan melimpahnya air, kini punya kebiasaan baru membeli air dan ditampung di tangki (PAM belum masuk ke
daerah kami). Pada saat itulah, di momen-momen paling berat, di antara rumput
cokelat tanpa embun, di bawah matahari merah menyala, dan dalam kurungan kabut
asap, saya kerap berbisik lirih; Bumi
kita tak pernah sama lagi seperti sebelumnya.
Perubahan Iklim : Apakah Alam yang Berubah
atau Manusia yang Sudah Berubah?
Ada yang
membuat saya kembali tersentak, ketika mengikuti rangkaian acara Forest Talk
With Netizen pada 31 Agustus lalu. Rangkaian acara yang diadakan oleh Yayasan Doktor Sjahrir (YDS)
dan Climate Reality Indonesia (http://lestarihutan.id/) ini mengajak blogger
dan netizen Jambi untuk peduli hutan dan mengenalnya lebih dekat. Lebih dekat, karena dari acara inilah saya jadi mengetahui bahwa serat ilalang bisa digunakan untuk membuat kain, lumut bisa dibuat jadi zat pewarna alami, akar tumbuan bisa diolah menjadi bumbu micin (anak micin angkat tangan!), dan segala macam informasi yang menunjukkan betapa hutan kita adalah sumber penghidupan.
Dr. Amanda Katili Niode (kanan), Ibu Atiek Widayati (tengah), Ibu Elly Telasari (kiri) |
Hal yang
membuat saya langsung sepakat, sekaligus terus mengingatnya hingga sekarang adalah
ketika Ibu Dr. Amanda Katili Niode (selaku pemateri pertama di sesi talk show berkenaan
dengan perubahan iklim) berkata bahwa kita telah terjebak dalam tragedy of the commons. Sebuah metafora untuk sesuatu yang dimiliki bersama, digunakan bersama secara
bebas dan tidak teratur. Saat saya mendengar ungkapan itu, rasanya seperti
sedang mendengar guru saya mengenalkan kosakata baru. Entah ke mana saja saya
selama ini, mohon jangan ditiru.
Akibatnya,
perubahan iklim yang kentara pun terjadi. Bahkan beberapa waktu yang lalu kita
sempat dikejutkan dengan cuaca ekstrem yang terjadi di beberapa negara. Contohnya
saat Amerika membeku dengan suhu -40o Celcius, namun, di saat
bersamaan, Australia justru meleleh karena suhu udaranya yang tembus hingga +50o
Celcius. Sebuah keanehan yang tragis,
namun begitulah adanya.
Tentu saja perubahan
iklim juga terjadi di Indonesia. Dahulu musim hujan dan musim kemarau masih
bisa ditanggulangi. Berbeda dengan sekarang yang cuacanya bisa mencapai
kekeringan atau kelembaban meteorologi level ekstrem. Bahkan, baru-baru ini
BMKG menyatakan bahwa musim kemarau tahun 2019 jauh lebih parah daripada tahun
lalu. Dan, diprediksi akan terus berlanjut hingga awal November (Ya salam!).
Padahal normalnya, musim kemarau hanya berlangsung dari bulan Maret hingga
September. Miris, memang. Cuaca sudah seperti remaja labil yang sulit dibaca isi
pikirannya.
Sejak kapan
pastinya alam berubah, tentulah ia mengalami berbagai proses panjang yang
kita abaikan. Namun, lagi-lagi saya sepakat dengan Dr. Amanda Katili bahwa
semua itu karena kita yang lebih dahulu berubah. Masih jelas dalam ingatan
saya, bagaimana ayah saya menceritakan kesederhanaan pola hidup masyarakat
dahulu. Mungkin, anda pun pernah mendengar celetukan seperti ini “Orang-orang dulu umurnya panjang-panjang,
ya.” atau “Orang-orang zaman dulu
meski sudah tua masih seger, ya.” Karena, saya pun pernah mengatakannya.
Dan, orangtua saya akan kembali berkisah bagaimana nenek mamak kami memperlakukan alam dengan baik, mengolah makanan
dari hutan, tidak menggunakan zat kimia, dan berpakaian sederhana tanpa
memikirkan fashion. Berbeda dengan kita yang saat ini sudah penuh dengan
berbagai kegiatan yang justru menyumbang emisi gas.
Sudah bukan
hal baru, istilah efek rumah kaca diperdengarkan pada kita. Papan reklame,
iklan televisi, spanduk yang bertuliskan save
our earth sudah sejak lama kita temukan. Namun, entah mengapa ajakan itu
seperti angin lalu saja bagi sebagian orang. Dari diagram di atas, menunjukkan
kenyataan bahwa semakin maju ekonomi dan industri kita justru semakin tinggi
kita menyumbang gas-gas emisi ke udara. Gas-gas emisi itulah yang akan
berkumpul, terjebak di atmosfer, lalu memantul kembali ke bumi karena tidak
sanggupnya lapisan atmosfer memantulkan panas bumi ke luar angkasa. Akibatnya,
tentu saja terjadi pemanasan global.
Bumi yang
semakin panas pun lama-lama mengalami perubahan. Dan, jadilah berbagai cuaca
ekstrem terjadi yang berujung pada bencana-bencana lainnya. Untuk itu, Ibu Amanda
Katili tak lupa mengingatkan betapa perlunya kita mencanangkan solusi dalam
menghadapi perubahan iklim ini. Di antaranya adalah Mitigasi dan Adaptasi.
Memang tidak
bisa secepat membalikan telapak tangan. Namun, solusi ini diharapkan dapat
memperlambat sekaligus mempertahankan diri di antara iklim yang terus berubah. Tentu
saja ini akan melibatkan sikap kita terhadap hutan.
Apa yang sebenarnya Terjadi dengan
Hutan Kita?
Setelah
dibuat tertohok oleh materi pertama, saya kembali harus tersadar bahwa memang
ada yang salah dengan hutan kita selama ini. Pasalnya, Bu Atiek Widayati dari
Tropenbos Indonesia juga menyampaikan bahwa hutan Indonesia yang katanya seluas
120,6 Ha (berdasarkan state of the forest Indonesia) ini justru semakin lama
mengalami perubahan luas dan fungsi. Semua itu dikarenakan adanya berbagai
kerusakan yang menimpa hutan kita. Salah satunya adalah kebakaran
.
Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jambi. Saya merasakan betul dampak dari
Karhutla. Asap itu menyebabakan banyak warga terserang ISPA. Bahkan merugikan
ekologi, meresahkan masyarakat, memperburuk keadaan lingkungan dan melumpuhkan
aktivitas di bidang transportasi,
kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Bahkan yang paling parah, terjadi tahun
2015, ketika Indonesia berhasil ‘mengekspor’ kabut asap tersebut ke beberapa
negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam. Bahkan Badan
Lingkungan Hidup sempat memaparkan indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah
melebihi angka 240 (sangat tidak sehat)[1].
Ketika saya
menulis essai ini, Jambi pun sedang dilanda bencana kabut asap karhutla. Bahkan
beberapa hari yang lalu, udara di kota ini sudah berada di atas baku mutu
dengan nilai 513 yang artinya berbahaya (Brdasarkan data realtime terakhir dari
Air Quality Monitoring System) sehingga Disdik berulang kali meliburkan
kegiatan belajar mengajar. Meski saat ini sudah turun menjadi 243. 47 (Tidak sehat), namun, tetap saja belum
ada kelegaan di hati. Karena bagaimanapun, mobil damkar bolak-balik karena banyak
kebakaran, dan napas tetap sesak karena asap masih mengepung pandangan dan dada. Dan, asap ini pun kerap mengalami fluktuasi.
Untuk itulah
perlu adanya gerakan melestarikan hutan agar bencana semacam ini tidak terulang
lagi. Bu Atiek menyampaikan bahawa perlunya mengembalikan fungsi hutan dan
melakukan pengelolaan berkelanjutan, yaitu melaksanakan konservasi hutan dalam oengelolaan berklanjutan.
Selain itu, masyarakat diharapkan ikut berkontribusi
dengan cara mendukung pelestarian hutan, mendukung Industri-industri yang
bertanggung jawab dalam mengelola hutan, menggunakan hasil hutan bukan kayu,
mendukung ekonomi masyarakat tepi hutan, dan memanfaatkan jasa ekosistem
(hutan), serta ikut berkontribusi mengajak masayarakat lebih mencintai hutan
dan alam melalui berbagai cara, salah satunya sosial media (dan inilah salah
satu alasan mengapa kami para blogger dan netizen bisa hadir dalam acara ini).
Melakukan Prinsip Hutan untuk Menjaga
Hutan
Seperti yang kita ketahui, pemerintah telah melakukan upaya
perlindungan hutan. Namun, sekuat apa pun sebuah undang-undang, mestilah
didukung oleh berbagai elemen masyarakat. Jika satu pohon cukup untuk menghasilkan
oksigen, maka seribu pohon lebih dari cukup. Sama halnya seperti kita pada
umumnya. Jika ada satu elemen yang mendukung kelestarian hutan, maka seribu
elemen itu akan jauh lebih besar dampaknya.
Kita perlu saling bahu-membahu menjaga
hutan seperti apa yang dikatakan Ibu Atiek yakni Prinsip Mengembalikan Fungsi
Hutan. Sebuah prinsip sistem yang sebetulnya terdiri atas berbagai elemen. Elemen-elemen
itu meliputi pemerintah, industri, LSM, pengusaha, lembaga-lembaga pengawas, media,
sektor swasta, aktivis, dan tentu saja masyarakat umum. Prinsip ini menjadikan
seluruh elemen masyarakat bekerja melestarikan hutan. Gerakannya persis seperti
komponen hutan yang saling menghidupi dan berpenghidup selama ini. Semuanya
bekerja di wilayah mereka masing-masing. Karena keselarasan
perpaduan antara integritas pribadi akan memayungi perangkat pengelolaan hutan.
Sehingga kerusakan bumi bisa ditanggulangi dan diperlambat.
Hutan Kreatif : Cara kita untuk
mencintai Bumi
Gunakan produk lokal dan dukung
Pemanfaatan hasil hutan. Begitu Bu Amanda Katili berkata saat beliau menggantikan Ibu Murni Titi
Resdiana yang berhalangan hadir. Dan, selain menggunakan menjadi konsumen, kita
diharapkan ikut mendukung gerakan menanam pohon untuk ekonomi kreatif. Karena
sebetulnya, selain digunakan sebagai bahan papan, pohon memiliki sumber manfaat
yang lain seperti sumber serat, pewarna alam, bahan kuliner, furniture, barang
dekorasi, dan minyak atsiri.
Seperti
rotan dan lontar (dimanfaatkan sebagai fashion dan kerajinan tangan), lalu kulit
secang dan pohon jati yang daunnya bisa dimanfaatkan sebagai pewarna kain atau
pun pewaran makanan dan minuman. Hmm ... saya jadi terkenang saat makan gudeg.
Warna merah dari gudeg juga berasal dari daun jati, lho.
Selain itu, ada
tumbuhan indigofra, mengkudu, kaliandra, nipah, kepal dan masih banyak lagi
yang ternyata bisa dimanfaatkan sebagai sumber. Entah itu serat, pewarna, pangan,
energi, dan lain sebagainya.
Kemeja dari serat kayu |
Mengenal Exhibitor di Event Forest
Talk with Netizen Jambi
“Saya cinta Jambi.” Begitu kalimat yang diucapkan Bang Vinto.
Saya ulangi. Saya cinta jambi. Dan,
itu beliau katakan dengan sangat lepas dan bangga ketika tiba gilirannya
memperkenalkan diri. Bang Vinto adalah salah satu exhibition yang turut hadir
di rangkaian agenda Forest Talk With Netizen ini. Perlu dijelaskan, event ini tak
hanya terpaku pada talk show, peserta juga diajak mengenal lebih dekat berbagai
UMKM yang fokus dan konsisten memproduksi produk yang murni dari alam tanpa
bahan kimia. Entah itu dari kayu atau non kayu.
Bang Vinto atau yang bernama asli Bustam Effendi ini sebetulnya
bukan asli wong kito. Namun, nasib yang membawanya berada di kota
ini. Tak main-main, sejak empat tahun lalu beliau ikut melestarikan hutan lewat
usahanya yang diberi nama Kain Vinto (cek instagram kain_vinto). Hal yang
paling membuat saya (dan saya rasa kami semua) tertarik adalah bahan dasarnya.
Bang Vinto menggunakan serat ilalang, serat pandan, sutra, rotan dan hasil
hutan lainnya untuk disulap menjadi syal, batik, tas, tikar, keranjang, dan
lain sebagainya. Lewat tangan dinginnya, beliau membina masyarakat Muaro Bungo.
Bahkan, zat pewarnanya juga alami seperti daun-daunan, getah pisang, dan lumut!
Tak heran kalau saat ini, Kain Vinto sudah di ekspor ke berbagai negara. Luar
biasa, memang. Hal ini menyadarkan saya betapa sebetulnya Tuhan begitu detail
dalam menciptakan semuanya di bumi ini. Kita hanya perlu sedikit berpikir
kreatif, tentunya. Bang Vinto adalah satu dari orang kreatif itu.
Selain Kain Vinto, exhibitor lain yang tak kalah keren
adalah Mas Ali dan tim dari Rengke rengke (cek instagram @rengkerengke). Rengke-rengke
memproduksi barang-barang serba rotan dan keladi hutan seperti plakat, topi, keranjang,
bros, bunga hias, dan lain sebagainya. Yang membuat produk ini makin spesial
adalah pengrajinnya, yakni Suku Anak Dalam (SAD). Ya, rengkerengke
memberdayakan masyarakat SAD sekitar Dusun Senami Kabupaten Batanghari. Sebetulnya
saya sudah lebih dahulu mengenal rengkerengke mengingat saya adalah alumni
UNJA.
Mas Ali Ariswanto, founder rengke |
Produk rengke (travelerien.com) |
Mas Ali dan tim adalah senior saya yang pada saat itu sudah
berkutat dengan pembinaan Suku Anak Dalam (SAD). Rengkerengke adalah usaha
kreatif yang bermula dari perlombaan karya ilmiah bertemakan PKM-M pada tahun
2010. Merasa bahwa usaha ini memberi dampak positif bagi perekonomian SAD, Mas Ali dan tim pun melanjutkan usaha ini hingga sekarang.
Sempat Mas Ali berkisah bahwa sebetulnya beliau pernah ditawari memproduksi anyaman tersebut dalam jumlah besar. Namun, sedikitnya SDM dan belum pahamnya pengrajin SAD tentang konsep penjualan konsinyasi membuat rengkrengke harus menahan diri dulu untuk ekspor. Sedikit sedih, namun, tim rengke akan tetap bersemangat. Saya pun turut mendoakan semoga usaha ini bisa semakin maju. Senang rasanya melihat saudara-saudara SAD bisa sejahtera.
Selanjutnya,
ada Ragel (cek instagram @ragel)
yang digawangi oleh Miftahul Jannah atau lebih sering disapa Mifta. Ragel (Rasa
Gemilang) adalah brand untuk produk cemilan yang terbuat dari produk hutan non
kayu yaitu jamur. Karena setiap hal memiliki ceritanya sendiri, Ragel juga
punya sejarah berdiri yang tak kalah inspiratif. Berawal dari rasa prihatin
terhadap petani jamur di Maro Sebo, Muaro Jambi, yang kerap mengalami fluktuasi
permintaan pasar, bahkan kerap merugi. Mifta pun bekerjasama dengan para petani
tersebut untuk kemudian membeli dan mengolah jamur menjadi panganan yang enak. Meski
baru beberapa bulan berdiri, Ragel ternyata sudah sering ikut pameran dan bazar
yang menuntu Ragel memprosuksi lebih banyak. Karena itulah, petani jamur semakin
semangat. Tabik!
Produk ragel terbuat dari jamur tiram |
Selain kain
Vinto, Rengke rengke, dan Ragel, event ini juga menghadirkan hasil produksi
masyarakat Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Pak Supari-lah yang saya temui ketika bertandang ke meja tempat produk-produk DMPA digelar. Warga desa ini dibina langsung oleh Asian
Pup Paper (APP) Sinar Mas sebagai keseriusan mereka dalam mewujudkan
Kebijakan Konservasi Hutan. Selain ikut memamerkan produk, DMPA juga turut
memaparkan sedikit gambaran mengenai gerakan mereka selama ini. Diwakili oleh
Ibu Elly Telasari, DMPA telah berjuang selama empat tahun ini untuk konsisten
mewujudkan hutan lestari. Ini, diharapkan sebagai salah satu cara yang Bu Atiek
sampaikan sebelumnya bahwa perlunya mengembalikan ‘fungsi’ hutan dengan cara
mengkonversi hutan dengan Agroforestri.
Untuk
produk-produknya sendiri, DMPA sudah menghasilkan begitu banyak produk yang
membuat penghidupan masyarakat DMPA meningkat. Produk-produk itu di antaranya
adalah :
Setelah
dibius dengan berbagai pameran produk hutan, saya dan teman-teman peserta
lainnya juga diajak mengikuti demo masak. Tentu saja dengan bahan-bahan serba
hutan seperti jamur, udang, dan sayur-sayuran. Saya sempat jengkel saat
mengikuti sesi ini. Bukan karena chef-nya atau demo-nya. Melainkan karena
ponsel pintar saya tiba-tiba kehilangan jaringan internet dan juga, pada
akhirnya harus kehabisan baterai. Hal ini tentu saja membuat aktivitas saya
menyiarkan kegiatan ini di sosial media jadi terhenti. Padahal sejak awal, saya
dan para peserta lainnya sudah berkomitmen untuk ikut mengajak masyarakat berkontibusi
menjaga kelestarian hutan dengan memanfaatkan sosial media. Ini, mungkin yang
disebut dengan nasib. Baiklah.
Untungnya,
harum masakan yang dimasak chef begitu menggiurkan, membuat saya jadi lupa dan
sedikit terhibur. Ditambah lagi, ternyata saat sesi penutup, saya diumumkan
sebagai salah satu juara dalam lomba live tweet mengenai Event FTWN ini.
Alhamdulillah, senangnya. Hadiahnya benar-benar bermanfaat.
Tiga pemenang lomba live instagram |
tiga pemenang lomba live tweet |
Peserta teraktif |
Menikmati kebersamaan saat makan siang |
Teman baru relasi baru |
Harus saya
akui, event Forest Talk With Netizen ini benar-benar membuka mata saya mengenai
lingkungan. Sebuah event yang bermanfaat sekali. Saya berterima kasih kepada
para penyelenggara, terutama Kak Katerina (travelian.id) yang mengajak saya
ikut serta dalam event yang bermanfaat ini.
Bermanfaat,
memang. Sebab bagi saya salah satu keberhasilan sebuah event adalah seberapa
jauh event itu meninggalkan bekas mendalam pada pesertanya. Nyatanya, kesadaran
saya terhadap lingkungan kini berada di taraf yang jauh lebih baik. Terlebih,
saat saya sedang menyusun tulisan ini, saya sedang berjuang di antara kabut
asap yang menyesakkan akibat karhutla. Tentu saja sambil sesekali memikirkan
riwayat parit jernih tempat saya dulu pernah menghabiskan masa kecil bahagia di
sana.
Benar kata
Dr. Amanda Katili Niode, Seperti berada di dalam mobil yang tertutup rapat, pengap, dan tak ada jalan keluar-masuk udara. Begitulah kondisi kita di bumi pada hari ini. Gas emisi,
polutan, dan panas matahari masuk ke bumi—yang seharusnya kembali ke
atas—justru berhenti dan kembali memantul ke bumi. Dan, jadilah efek rumah
kaca. Lantas dengan apa kita bisa keluar dari kurungan mobil ini?
Maka, sebagaimana Franklin D. Roosevelt pernah mengatakan, bahwa
a nation that destroys its soils destroys
itself. Forests are the lungs of our land, purifying the air and giving fresh
strength to our people. Bagaimanapun, alam tidak pernah menyakit dirinya.
Dia hanya menjawab apa yang sudah manusia lakukan padanya. Karena itu, marilah
kita menjaga alam ini. Sebab, menjaga alam sama saja dengan menjaga diri kita. Salam
lestari! []
***
Profil Penyelenggara :
Yayasan Doktor Sjahrir dan Climate Reality Indonesia
Yayasan Doktor Sjahrir adalah Organisasi Nirlaba yang dibentuk untuk meneruskan
misi sosial almarhum Dr Sjahrir. Lembaga bergerak lintas sektor, termasuk bidang
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
·
email
sekretariat@yayasandoktorsjahrir.id
·
Twitter
(@YSjahrir)
·
Instagram(@yayasandoktorsjahrir)
·
Website
Lestari Hutan (http://lestarihutan.id/ ) dan (http://yayasandoktorsjahrir.id)
·
Alamat
Jalan Sukabumi No. 15, Menteng, Jakarta
Sedangkan The Climate Reality Project Indonesia adalah bagian dari The Climate
Reality Project yang berasal dari Amerika Serikat yang dipimpin oleh mantan
wakil presiden Al Gore, saat ini memiliki dari 300 relawan di Indonesia yang
juga berfokus melakukan sosialisai perubahan iklim dan mendorong masyarakat
untuk menjadi bagian dari solusi.
awalnya enak banget, kayak novel. eh ternyata fakta. sad!
BalasHapusSemoga karhutla bisa benar benar hilang dari bumi Jambi. Karena hutan kita terbakar bukan karena bencana alam, tapi bencana manusia.
BalasHapus